![]() |
Ilustrasi anak laki-laki. Foto Pexels.com |
Di sebuah desa kecil yang jauh dari hiruk-pikuk kota besar, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Bima.
Usianya baru menginjak 12 tahun, namun hidup telah memberinya cobaan yang begitu berat.
Dua tahun yang lalu, ayahnya meninggal karena kecelakaan di tempat kerjanya.
Kepergian sang ayah membuat Bima dan ibunya harus berjuang keras untuk bertahan hidup.
Namun, takdir seakan tak ingin memberi jeda bagi Bima. Beberapa bulan yang lalu, ibunya juga pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya karena penyakit yang tak kunjung sembuh.
Bima kini menjadi seorang yatim piatu. Ia tinggal di sebuah rumah kecil yang dulu penuh dengan canda tawa dan kasih sayang, tetapi kini hanya menyisakan kesunyian yang menghantui setiap sudutnya.
Setiap hari setelah pulang sekolah, Bima duduk di teras rumahnya, memandang ke arah sawah yang terbentang luas di depan rumah. Ia seringkali teringat akan saat-saat bersama ibunya.
Ibunya adalah sosok yang lembut dan penuh kasih sayang. Meski hidup mereka sederhana, sang ibu selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk Bima.
Senyum ibunya, suara lembutnya saat membacakan cerita sebelum tidur, dan pelukan hangatnya setiap pagi, semua itu masih terbayang jelas dalam ingatan Bima.
Hari itu, Bima merasa kesedihannya semakin berat. Ia berjalan ke arah sawah, mencari tempat di mana ia bisa melepaskan semua beban di hatinya.
Ia duduk di bawah pohon rindang, memandang ke langit biru yang mulai dipenuhi awan.
Air mata mulai mengalir dari matanya. Ia merasa begitu kesepian dan tidak tahu harus berbuat apa.
"Bu, Bima rindu sama Ibu. Kenapa Ibu harus pergi juga?" lirih Bima sambil memeluk lututnya erat-erat.
Ia merasa dunia begitu tidak adil. Kehilangan kedua orang tuanya membuatnya merasa hampa.
Sore itu, seorang tetangga bernama Pak Wira, yang juga teman baik ayahnya, melihat Bima duduk sendirian di bawah pohon.
Ia mendekati Bima dan duduk di sampingnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Mereka hanya duduk dalam keheningan, memandang ke arah yang sama. Setelah beberapa saat, Pak Wira pun angkat bicara.
"Bima, hidup memang kadang tidak mudah. Kehilangan orang yang kita cintai adalah hal yang paling berat. Tapi kamu harus kuat.
Ayah dan Ibumu pasti ingin kamu tetap bahagia dan terus berjuang," kata Pak Wira dengan suara yang tenang.
Bima menoleh, menatap wajah Pak Wira yang penuh dengan rasa prihatin. Ia mengangguk pelan, meskipun hatinya masih terasa sangat berat.
Pak Wira pun melanjutkan, "Kamu tidak sendirian, Bima. Kami semua di sini adalah keluargamu. Jika kamu butuh bantuan, jangan ragu untuk mengatakannya."
Kata-kata Pak Wira sedikit memberi ketenangan bagi hati Bima. Meski kesedihannya belum sepenuhnya hilang, ia merasa ada harapan.
Ia tahu bahwa masih ada orang-orang di sekitarnya yang peduli dan siap membantunya.
Hari demi hari berlalu, dan Bima mulai belajar untuk bangkit dari kesedihannya. Ia tetap rajin bersekolah dan membantu Pak Wira di sawah setiap akhir pekan.
Meski masih sering merindukan kedua orang tuanya, Bima belajar untuk menerima kenyataan dan menjalani hidup dengan tekad yang kuat.
Ia berjanji dalam hatinya untuk selalu mengenang dan menghormati kedua orang tuanya dengan menjadi anak yang baik dan berbakti.
Kehidupan Bima mungkin tidak akan pernah sama lagi, tetapi ia tahu bahwa di balik setiap kesulitan, selalu ada harapan dan kesempatan untuk bangkit.
Dan ia percaya, di suatu tempat, ayah dan ibunya tersenyum bangga melihatnya.
Tunjukkan apresiasi Anda dengan memberi sumbangan kecil atau Donasi Via Dana Untuk Secangkir Kopi.
Komentar
Posting Komentar