Cerita Pendek: Jejak Kasih Ibu

Kasih ibu sepanjang jalan. Foto: Pexels.com

Jejak Kasih Ibu

Di sudut kamar kecil itu, Cahaya duduk bersandar di kursi kayu, pandangannya terfokus pada bingkai foto di meja. Dalam bingkai itu, tersenyum seorang wanita cantik dengan mata yang penuh kehangatan, dan seorang gadis kecil yang tersenyum riang di pangkuannya. Itulah ibunya, sosok yang begitu berarti dalam hidup Cahaya.

Hari itu, hening menyelimuti rumah mereka. Cahaya merasakan kekosongan yang begitu menyayat hati sejak ibunya meninggalkan mereka untuk selamanya. Ia masih teringat dengan jelas hari ketika ibunya pergi meninggalkan dunia ini. Waktu itu, ia hanya bisa meratapi kepergian ibunya, meratapi kenyataan bahwa ia tidak akan pernah lagi merasakan pelukan hangatnya, mendengar suara lembutnya, atau melihat senyumannya yang menghangatkan hati.

Cahaya memejamkan mata, berusaha keras mengingat kenangan-kenangan indah bersama ibunya. Ia ingat bagaimana ibunya selalu tersenyum meski dalam kesulitan, bagaimana beliau mengajari Cahaya cara berbagi dan peduli kepada sesama, dan bagaimana beliau menjadi sosok teladan yang luar biasa dalam hidupnya.

Namun, kini semua itu tinggal kenangan. Cahaya harus belajar hidup tanpa sosok yang telah menjadi tiang penyangga dalam hidupnya selama ini. Air mata mulai menetes di pipinya saat ia memandang bingkai foto ibunya. "Ibu," bisiknya dengan suara parau.

Hari-hari berlalu, dan Cahaya mencoba menjalani kehidupan tanpa kehadiran ibunya. Ia belajar menanggung rindu, menahan kepedihan, dan menyimpan kenangan dalam hatinya. Namun, ada kalanya kekosongan itu terasa begitu menyiksa, dan Cahaya merindukan kehangatan ibunya seperti tidak pernah sebelumnya.

Di suatu sore yang hening, Cahaya duduk di teras rumah mereka, memandang langit senja yang berwarna jingga. Angin sepoi-sepoi menyapanya, mengusap lembut rambutnya. Tiba-tiba, di dalam hati Cahaya, ada suara yang mengingatkan padanya tentang pesan terakhir ibunya, pesan tentang kekuatan, keberanian, dan cinta yang tak akan pernah pudar.

"Dengarkan aku, Cahaya," kata ibunya dalam kenangan Cahaya. "Meski aku tak lagi ada di sini, cintaku akan selalu menyertaimu. Engkau adalah cahaya dalam hidupku, dan keberanian serta kekuatan ada di dalam dirimu sendiri."

Cahaya tersadar. Meski ibunya telah pergi, cintanya masih hadir dalam setiap hembusan angin, dalam setiap cahaya senja, dan dalam setiap detak jantungnya. Ia menyadari bahwa keberanian dan kekuatan yang dicarinya telah ada di dalam dirinya sejak awal, tumbuh dari kasih sayang dan keteladanan ibunya.

Dengan langkah mantap, Cahaya mengangkat dirinya dari kursi, memandang langit senja dengan penuh keyakinan. Ia tahu bahwa ibunya akan selalu bersamanya, mengawalnya melalui setiap langkah hidup yang dijalani. Meskipun ibunya telah pergi, jejak kasihnya tetap membimbing Cahaya, menerangi jalan ke depannya, selamanya.

Itulah cerita pendek (cerpen) tentang sosok sang ibu telah pergi selamanya meninggalkan dunia.




Tunjukkan apresiasi Anda dengan memberi sumbangan kecil atau Donasi Via Dana Untuk Secangkir Kopi.

Komentar